Wednesday, May 18, 2011

PERAN MILITER

Peran-Peran Militer di Indonesia Periode 1945-1959
Militer Indonesia mempunyai peran yang strategis karena menempati posisi tinggi dalam masyarakat oleh peran ganda mereka dalam pertahanan dan sosiopolitik. Militer, khususnya Angkatan Darat menikmati kedudukan istimewa dalam bidang politik nasional sejak pertengahan tahun 1950-an dan karena itu merupakan kekuatan yang paling siginifikan dalam sejarah Indonesia baru. Pada dasarnya, keberadaan militer dalam kancah politik Indonesia mempunyai posisi yang unik. Apabila kita mencoba menggali lebih dasar, hal ini disebabkan oleh rakyat sendiri yang mencoba menciptakan militer Indonesia, disamping setelah pemimpin sipil banyak ditangkap dan diasingkan Belanda pada tahun 1948 militer menempatkan diri sebagai pemimpin nasional.
Atas dasar itu, militer mempunyai klaim yang kuat dan memperoleh pengesahan dalam waktu lama memainkan peran dwifungsinya dalam kancah pertahanan dan politik. Tak heran, pasca-1965 militer berubah menjadi kekuatan yang menggurita dalam setiap sektor kehidupan, sehingga militer pada masa Orde Baru tak ubahnya sebuah negara dalam negara. Dominasi militer tidak hanya tampak dalam hal-hal yang fisik, tetapi juga mempunyai peranan yang kuat mengonstruksi alam bawah sadar massa rakyat Indonesia sehingga ingatan kolektif rakyat terkendalikan oleh nalar militer sehingga mempengaruhi tingkah laku sebagian rakyat untuk menciptakan bayangan diri sebagai mirip kaum militer. Katharine berpendapat, sejarah di masa Presiden Soekarno menjadi sarana propaganda untuk berbagai kepentingan, namun di bawah Presiden Soeharto sejarah menjadi titik pusat upaya mendukung rezim dan militer..
Apabila kita menelaah bagaimana kancah militer dalam perpolitikan Indonesia, tentunya hal ini tentu didasari beberapa alasan kuat, terutama karena militer Indonesia lahir bukan sebagai sesuatu yang instan. Akan tetapi melalui beberapa proses ataupun fase. Adapun fase-fase ini natinya menjadi cikal bakal pembentukan wadah militer yang lebih solid dan stabil. Beberapa fase tersebut dibagi dalam tahap yang besar yakni :
  • Militer pada masa 1945-1950
Militer Indonesia memiliki keunikan dibandingkan dengan militer di negara lain, militer Indonesia membentuk dirinya sendiri melalui perjuangan kemerdekaan melawan penjajahan Belanda ataupun Jepang. Perjuangan mendapatkan kemerdekaan membuatnya melakukan kegiatan kesemestaan, tidak hanya bertempur secara fisik akan tetapi terlibat dalam penyusunan strategi pendirian bangsa Indonesia. Keunikan inilah menjadikan peranan militer Indonesia menjadi tidak biasa. Penggalan sejarah kemerdekaan menjadi legitimasi menjadikan militer tidak hanya menjadi instrumen pertahanan bangsa dari gangguan kekuatan luar, akan tetapi menjadi bagian penting dalam pengambilan keputusn politik Indonesia
Seperti yang telah dijelaskan di atas, militer Indonesia tidak dibentuk dengan instan. Militer di Indonesia dibentuk dari embrio yang telah ada, antara lain Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA), tentara Hindia Belanda (KNIL) serta badan-badan perjuangan (laskar). Pada masa ini terjadi kekacauan dimana-mana. Belanda datang untuk mengambil kemerdekaan Indonesia yang baru saja diproklamasikan. Kedatangan belanda ditandai dengan  mendaratnya Inggris bersama tentara Belanda di Sabang, Aceh pada tanggal 23 agustus 1945. Lalu, Tentara Inggris selaku wakil Sekutu tiba di Jakarta, dengan didampingi Dr. Charles van der Plas, wakil Belanda pada Sekutu. Kehadiran tentara Sekutu ini, diboncengi NICA (Netherland Indies Civil Administration – pemerintahan sipil Hindia Belanda) yang dipimpin oleh Dr. Hubertus J van Mook.
Kedatangan NICA tersebut mengawali perjuangan Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya. Selanjutnya, yang paling dekat dengan pembahasan ini adalah keterlibatan Militer dalam mempertahankan kemerdekaan ini. Yang disebut suhartono sebgaai periode Aksi. Sebuah periode yang sangat menonjolkan peran militer sebagai pihak yang berjasa dalam mempertahankan kemerdekaan.
Salah satu dari peran militer ini adalah ketika belanda melancarkan agresi, baik agresi yang pertama maupun yang kedua. Menghadapi agresi ini, militer Indonesia mengembangkan “Sistem Wehrkreise” yang pada intinya membagi daerah pertempuran dalam lingkaran-lingkaran (kreise) yang memungkinkan satuan-satuan militer secara mandiri mempertahankan (wehr) lingkaran pertahanannya.
Kemandirian pertahanan melingkar ini dilakukan dengan melakukan mobilisasi kekuatan rakyat dan sumber daya yang berada di lingkaran pertahanan tertentu. Sistem Wehrkreise ini kemudian dilengkapi dengan dalil-dalil perang gerilya sebagai bentuk operasional taktik militer di medan pertempuran. Sistem ini pertama kali digunakan oleh Divisi I/Siliwangi di Jawa Barat yang dipimpin oleh Kolonel A.H. Nasution dan Divisi II/Sunan Gunung Jati di Jawa Tengah yang dipimpin Kolonel Gatot Subroto. Konsepsi baru ini diadopsi oleh Panglima TNI Jenderal Sudirman melalui Perintah Siasat No.1. Perintah siasat ini menginstruktikan pembentukan kantong-kantong di setiap distrik militer yang diselenggarakan oleh suatu Wehrkrise sehingga seluruh pulau akan menjadi suatu medan perang gerilya yang besar.
Dengan sistem ini, membuat sipil dan militer cukup dekat waktu itu. Dan selanjutnya, hubungan mesra itu berlanjut. Sampai pada ketika terjadi serangan agresi belanda II ke yogyakarta. Sebelum serangan militer belanda, Soekarno pernah berpidato bahwa jika Belanda ngotot menggunakan kekuatan militernya, dia sendiri yang akan memimpin perang grilya.
Namun, ketika serangan itu tiba, Soekarno dan pemimpin republik merencanakan tetap tinggal. Artinya menyerah kepada Belanda. Reaksi kalangan militer tentu kecewa, terutama bagi kalangan perwira yang tahu bahwa Soekarno sebelumnya bersedia untuk bergrilya. Peristiwa ini menurut Ulf Sundhaussen merupakan awal rusaknya hubungan sipil-militer dalam perpolitikan Indonesia.
Kejadian-kejadian di atas lah yang memperkuat legitimasi atas keterlibatan militer dalam perpolitikan di Indonesia.
  • Militer pada masa1950-1959
Periode ini RI diguncang oleh gangguan gerakan separatisme dan di sana-sini timbul gerakan lokal. Lewat TNI gerakan-gerakan itu dipadamkan, bahkan reputasinya dapat dibanggakan dalam menumpas PRRI/PERMESTA (1957/1958). Karya Nasution di atas masih relevan untuk memperkuat posisi TNI sebagai pengawal keamanan.  Setelah penyerahan kedaulatan dari RIS ke Negara Kesatuan RI peran politik militer dibatasi. Kedudukan militer dikembalikan ke masa awal proklamasi dalam hubungan seimbang karena diberlakukannya UUDS 1950 yang menempatkan sipil di atas militer sebagai manifestasi demokrasi liberal Barat.
Hubungan sipil-militer makin renggang dan tidak stabil. Di satu pihak sipil membuat divisi-divisi dalam militer dan menentangusaha-usaha militer membentuk standar profesional, sedang militer sebenarnya mendukung upaya pembangunan demokrasi parlementer yang pada waktu yang bersamaan akan terbentuk profesionalisme militer yang otomatis terpisah dari aktifitas politik kepartaian. Rupanya pemerintah tidak tanggap terhadap keinginan militer yang ditandai eengganan parlemen untuk tidak dapat menerima standar profesional militer maka muncullah Peristiwa 17 Oktober 1952 sebagai tanda  kekesalan militer. Selain itu, militer juga kesal terhadap para politisi partai di parlemen. Mereka bukannya meluluskan perundang-undangan yang mendesak siperlukan, melainkan menyibukkan diri untuk menjatuhkan kabinet.
Belum juga beres tentang parlemen dan kabinet,negara yang baru di akui ini juga menghadapi berbagai pemberontakan daerah/lokal. Kondisi seperti inilah yang mendorong militer sebagai alat pertahanan dan keamanan negara merasa mempunyai tanggung jawab yang penuh untuk segera mengambil tindakan cepat guna mengatasi kekacauan dalam negeri tersebut. Ketidakstabilan kondisi negara pada masa Demokrasi Liberal dianggap sebagai akibat gagalnya pemerintah sipil dalam mengendalikan pemerintahan. Dari sinilah militer terdorong untuk mengambil peranan dalam bidang politik mengingat peranan militer sangat besar dalam mencapai kemerdekaan Indonesia.
Menurut Daniel Lev beban berat yang harus di pikul TNI menyebabkan adanya pemikiran memegang peranannya dalam urusan negara. Kesempatan ini terbujka lebar pada 1956-1957, yaitu dengan munculnya konflik daerah melawan pusat yang semakin memuncak. Ali Sastroamidjojo mengembalkikan mandat dan presiden Soekarno memberlakukan Undang-undang Keadaan Darurat (SOB) pada bulan Maret 1957 dan atas dasar SOB itulah dibentuk sebuah Lembaga Dewan Nasional, yang di dalamnya terdapat para perwira militer sebagai anggotanya. Untuk mengantisipasi kudeta yang dilakukan oleh militer, maka muncullah gagasan konsep jalan tengah yang berisi jaminan tentara tidak akan melakukan kudeta. Konsep jalan tengah yang diambil dari pemikiran nasutin itu adalah Dwi fungsi ABRI. Konsep Dwifungsi ABRI inilahyang memberipeluang besar bagi tentara untuk berperan dalam kehidupan sosial-politi, menduduki jabatan strategis, dan melakukan bisnis.